(Muhasabah Haji)

Bagi seorang Muslim seperti kita, melaksanakan ibadah haji memiliki berbagai keutamaan yang luar biasa. Orang yang telah dianugerahi Allah Subhanahu wata’ala dengan pemahaman dan melaksanakan haji, sungguh kita telah diberkati dengan berbagai kebaikan. Rahmat Allah berupa berbagai kebaikan itu perlu kita renungkan kembali.

Pertama, patut direnungkan bahwa perjalanan berhaji itu mengingatkan seorang Muslim kepada perjalanan menuju Allah Subhanahu wata’ala dan akhirat. Ketika kita mulai pergi, kita meninggalkan orang-orang yang dicintainya, keluarga, anak-anak dan tanah air. Bukankah perjalanan ke akhirat nanti juga demikian?

Selanjutnya, seorang Muslim yang melakukan perjalanan ini membawa perbekalan yang akan membantunya mencapai tanah suci, dan ini mengingatkan kita bahwa untuk perjalanan menuju Allah Subhanahu wata’ala, kita harus memiliki perbekalan yang akan membantu kita sampai dengan selamat. Untuk ini, Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

ٱلْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَٰتٌ ۚ فَمَن فَرَضَ
فِيهِنَّ ٱلْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ
وَلَا جِدَالَ فِى ٱلْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا۟ مِنْ
خَيْرٍ يَعْلَمْهُ ٱللَّهُ ۗ وَتَزَوَّدُوا۟ فَإِنَّ خَيْرَ
ٱلزَّادِ ٱلتَّقْوَىٰ ۚ وَٱتَّقُونِ يَٰٓأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ

Artinya:
(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal (QS. Al-Baqarah, ayat 197).

Selain itu, bepergian adalah semacam siksaan. Demikian juga perjalanan ke akhirat, dan bahkan jauh lebih besar. Di depan kita ada (siksaan) kematian, kematian itu sendiri, kubur, pertemuan, hisab, penimbangan, dan al-Siraat (jembatan melintasi Neraka, yang harus kita dan semua orang lalui), kemudian Surga atau Neraka . Orang yang diberkati adalah orang yang diselamatkan Allah Subhanahu wata’ala.

Ketika masuk waktu berihram, mengenakan pakaian ihram yang dua potong kain putih yang tidak berjahit, ini mengingatkan kita pada kain kafan yang akan membungkus kita. Ini memotivasi kita untuk meninggalkan dosa. Sama seperti kita menanggalkan pakaian, kita juga harus menanggalkan dosa-dosa; sebagaimana kita mengenakan dua pakaian putih bersih, hati dan anggota tubuhnya juga harus bersih dan tidak ternoda oleh dosa.

Ketika kita mengatakan di miqat (titik / garis di mana kita mulai berihram), “Labbaik Allahumma labbaik (Ini aku melayani Engkau, ya Allah)”, yang berarti bahwa kita telah menjawab panggilan Allah Subhanahu wata’ala. Bagaimana kita bisa tetap dalam keadaan berdosa tanpa mengatakan, “Labbaik Allahumma labbik (Inilah aku melayani-Mu, ya Allah)”, artinya, aku telah menanggalkan dosa-dosaku. Ini adalah waktu untuk meninggalkan dosa.

Ketika kita meninggalkan hal-hal yang dilarang dalam ihram, dan menyibukkan diri dengan talbiyah dan dzikir (mengingat Allah), ini menunjukkan bahwa kita sebagai muslim harus selalu berada dalam keadaan demikian. Ini adalah sarana untuk melatih dan mendisiplinkan diri, karena kita mendisiplinkan diri dengan meninggalkan apa yang pada dasarnya diperbolehkan, tetapi Allah telah melarangnya dalam situasi ini. Lantas bagaimana kita akan melanggar batas suci yang ditetapkan Allah di semua waktu dan tempat?

Saat kita memasuki Rumah Suci Allah, yang telah Allah Subhanahu wata’ala jadikan tempat yang aman bagi semua manusia, ini mengingatkan kita akan keselamatan pada Hari Kebangkitan, dan tidak seorang pun dapat mencapainya tanpa usaha dan perjuangan. Sumber keselamatan terbesar di hari kiamat adalah Tauhid (keyakinan akan Keesaan Allah) dan menjauhi syirik. Dalam hal ini, Allah Subhanahu wata’ala berfirman

ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَلَمْ يَلْبِسُوٓا۟ إِيمَٰنَهُم بِظُلْمٍ
أُو۟لَٰٓئِكَ لَهُمُ ٱلْأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ

Artinya:
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk (QS. Al-An’am, ayat 82).

Ketika kita mencium Batu Hitam, jika memungkinkan dan tidak menyakiti jamaah lain, jika tak mungkin cukup dengan cium jauh, yang merupakan ritual pertama yang kita lakukan, ini melatih kita untuk memuliakan Sunnah (jalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak melanggar hukum syariat Allah.

Kita tahu tahu bahwa apa yang Allah Subhanahu wata’ala tetapkan untuk umat manusia adalah bijaksana dan yang terbaik. Dan kita melatih diri untuk tunduk sepenuhnya kepada Allah Subhanahu wata’ala.

Dalam hal ini, ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu setelah mencium Hajar Aswad berkata, “Saya tahu bahwa Anda hanyalah sebuah batu dan Anda tidak dapat membahayakan atau membawa manfaat. Seandainya aku tidak melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menciummu, aku tidak akan (sudi) menciummu” (HR. al-Bukhaari no. 1520 dan Muslim no. 1720). Allahu ya’lam.

Semoga bermanfaat

Sebarkan cinta